Bukan Sekedar Formalitas
Theresia Karo Karo Official Writer
Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan. Sebaliknya, kita diminta untuk memberkati musuh-musuh kita [kitab]ipetr3:9[/kitab]. Selain itu, Yesus juga mengatakan dalam [kitab]matiu5:44[/kitab] “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Hanya Tuhan yang bisa meruntuhkan tembok-tembok yang memisahkan, memungkinkan rekonsiliasi dengan Dia dan satu sama lain, serta mengisi hati kita dengan kasih dan pengampunan oleh kuat kuasa Roh Kudus.
Untuk itu kita perlu memahami kekuatan sebuah permintaan maaf, karena meminta atau memberi maaf memiliki kekuatan yang dahsyat dalam kehidupan. Tidak ada manusia yang sempurna, suatu saat kita pasti pernah membuat kekacauan, melakukan kesalahan, mengatakan hal yang melukai orang lain di sekitar kita dan sebagainya. Disinilah permintaan maaf memiliki kekuatan untuk memperbaiki hal yang rusak, memulihkan hubungan, menyembuhkan luka, dan memulihkan hati yang hancur.
Bagi sebagian keluarga, malam tahun baru adalah saat di mana keluarga berkumpul untuk mengadakan doa bersama di rumah. Tidak jarang juga, moment ini menjadi kesempatan bagi setiap anggota keluarga untuk menyampaikan harapan sekaligus permintaan maaf atas kekurangan atau kesalahannya.
Kita tahu, bahwa kata ‘maaf’ saja tidak lantas memperbaiki kesalahan seseorang. Namun, saat seseorang melakukan permintaan maaf dengan tulus, secara bertahap dapat mengurangi efek negatif dari tindakan yang salah yang telah dilakukan.
Lalu, bagaimana cara meminta maaf yang baik?
Urusan meminta maaf tentu semua orang sudah tahu. Namun saat seseorang meminta maaf tanpa ketulusan, maka hal tersebut cenderung tidak memiliki arti bagi orang yang telah kita sakiti. Sebelumnya, miliki dahulu permintan maaf yang berasal dari kedalaman hati kita yang tulus. Selain itu, permintaan maaf juga harus terlihat dalam tindakan kita.
Pertobatan
Ketika kita sudah menyakiti orang lain, tentu ini menjadi peringatan agar kedepannya hal yang serupa tidak terulang lagi. Harus benar-benar ada penyesalan yang mendalam. Alkitab mengistilahkannya dengan ‘dukacita ilahi’.
Dalam [kitab]iikor7:10[/kitab] dikatakan, “sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan.”
Saat Raja Daud melakukan kesalahan dengan berzinah bersama Batsyeba dan membunuh uria, dirinya benar-benar menyesal akan tindakannya. Dia mengutarakan permintaan maafnya itu kepada Tuhan dalam 21 ayat di [kitab]mazmu51[/kitab]. Daud tidak hanya mengatakan, “Maaf!” Permohonan maafnya disampaikan secara detail.
Pertanggungjawaban
Raja Daud menerima tanggung jawab penuh atas kesalahannya dengan Batsyeba dan Uria di hadapan Tuhan.
[kitab]mazmu51:6[/kitab] mengatakan, “terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.”
Agar permohonan maaf efektif, haruslah jelas bahwa anda benar-benar mengambil tanggung jawab atas apa yang telah anda kerjakan atau yang gagal anda kerjakan.
Restitusi
Kita harus siap juga menebus situasinya. Coba lihat sikap pertobatan dari Zakheus dalam [kitab]mazmu51:6[/kitab]. Pertobatan adalah perubahan pikiran plus perubahan tindakan! Memang kita tidak akan bisa memperbaiki masa lalu, tetapi anda perlu memperbaiki situasi yang diakibatkannya. Caranya adalah dengan restitusi. Zakheus menawarkan restitusi untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh tindakan pada orang-orang yang dia rugikan.
Restorasi
Akhirnya, pemulihan, restorasi. Ketika anda minta maaf dan berani berkata, “Maukah engkau memaafkan Saya?” Maka Tuhan akan melepaskan kuasa untuk memulihkan hubungan. Pengampunan dari Tuhan membasuh kesalahan di masa lalu serta membuka pintu persahabatan di masa depan.
Intinya adalah pertobatan, pertangungjawaban, restitusi, dan restorasi. Semoga dengan ini permintaan maaf anda tidak lagi sekedar formalitas.
Sumber : GPDI Lippo Cikarang
Halaman :
1